mutsla.my.id – Belakangan ini, gaung “local pride” dan kebanggaan akan brand lokal semakin nyaring terdengar. Kita diajak untuk mendukung dan menggunakan produk-produk buatan anak bangsa. Namun, di tengah semangat membara ini, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya definisi “brand lokal” itu, dan kapan UMKM kita benar-benar membutuhkannya?
Saya berkesempatan berbincang dengan Pak Bi, seorang pakar branding dengan pengalaman lebih dari 50 tahun yang telah melahirkan berbagai merek ikonik seperti Indomie, Kopiko, BCA, Panasonic, hingga Kartu AS. Diskusi kami membuka mata tentang perbedaan krusial antara merek lokal dan brand lokal, serta kapan branding menjadi sebuah kebutuhan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk “naik kelas.”
Merek Lokal: Ketika Produk Berbicara Sendiri
Pak Bi menjelaskan bahwa usaha mikro pada dasarnya tidak membutuhkan branding di awal. Ambil contoh sederhana: penjual pisang goreng di pinggir jalan. Produknya “telanjang,” tanpa bungkus atau merek, tapi tetap laku karena pembeli langsung bertemu dan bertransaksi dengannya. Ini adalah fase “selling” atau penjualan transaksional.
Namun, ketika usaha mikro berkembang, mulai mengemas produknya dalam plastik dan menitipkannya ke banyak toko, persaingan pun muncul. Di sinilah seringkali produk menjadi “tidak laku.” Mengapa? Karena hanya mengandalkan fungsi dan manfaat produk semata.
Dari Merek Menjadi Brand: Ketika Makna Mengungguli Fungsi
Inilah titik di mana branding menjadi penting. Branding bukan sekadar memberi nama atau logo, melainkan tentang membangun makna (value) dan ikatan emosional dengan konsumen.
“Produk are made in the factory, but brand created in mind,” ujar Pak Bi, mengutip pakar branding Wally Olins. Artinya, produk dibuat di pabrik, tetapi brand lahir dan melekat di benak konsumen.
Contoh yang menarik adalah keripik singkong. Jika keripik singkong saja sulit laku, bagaimana jika dibranding sebagai “oleh-oleh” atau bagian dari sebuah “parcel”? Seketika, maknanya berubah. Orang membeli bukan lagi karena “fungsi” keripik singkong semata, melainkan karena ada pesan, kesan, atau bahkan kenangan di baliknya. “Halo sayang, aku bawa sesuatu nih dari Malang, Malang Strudel!” Bukti Malang Strudel adalah oleh-oleh dari Malang, bukan sekadar produk kue biasa.
Hal ini juga berlaku pada kasus Kopiko. Awalnya hanya permen rasa kopi, tapi berkat branding yang tepat dengan tagline “Gantinya Ngopi”, Kopiko berhasil mengubah fungsinya di benak konsumen menjadi substitusi kopi, padahal bentuknya permen.
Kapan UMKM Benar-Benar Butuh Branding?
Dari diskusi dengan Pak Bi, kita bisa menyimpulkan bahwa UMKM yang benar-benar membutuhkan branding adalah mereka yang ingin “naik kelas”.
- Dari Selling ke Marketing: Jika UMKM masih berjualan langsung ke pembeli (selling), branding mungkin belum jadi prioritas. Tapi, ketika mereka mulai menitip jual ke toko-toko lain, mereka sudah masuk ranah marketing dan di sinilah distribusi serta promosi dibutuhkan. Branding menjadi elemen krusial untuk membedakan diri dan menarik perhatian di tengah gempuran produk sejenis.
- Menciptakan Makna: Saat produk tidak lagi laku hanya karena fungsi dasarnya, saat itulah perlu membangun makna atau value. Ingat kata pepatah: “You can buy a bed, but you cannot buy sleep.” Begitu juga, “Money can buy a house, but money cannot buy a home.” Branding membantu UMKM menjual “tidur” atau “rumah”, bukan sekadar “tempat tidur” atau “bangunan”.
- Membangun Cerita: Seperti kontraktor yang tidak hanya menjual rumah, tetapi “setiap rumah punya cerita,” UMKM juga harus belajar menjual cerita (story) di balik produknya. Ini adalah esensi dari storytelling dalam branding, yang berbeda dengan telling story (narasi biasa). Storytelling menciptakan paradoks dan conflict of interest yang memancing pikiran konsumen, sehingga lebih melekat di benak mereka.
Jangan Sungkan Belajar Branding!
Pak Bi menekankan pentingnya jangan sungkan bertanya dan belajar tentang branding. Ilmu branding adalah investasi yang akan membantu UMKM berkembang dan bersaing. Jika Anda seorang pelaku UMKM atau bahkan content creator, memahami prinsip branding akan sangat membantu.
Ada banyak kesempatan untuk belajar, baik secara daring maupun luring. Pak Bi sendiri sering mengadakan workshop tentang copywriting, storytelling, hingga strategi branding. Ilmu-ilmu ini akan membantu Anda memahami bagaimana memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) secara efektif dalam branding, karena pada akhirnya, intuisi dan wisdom manusia tetap di atas AI.
Mari kita dukung dan dorong UMKM di sekitar kita untuk berani melangkah lebih jauh, tidak hanya sekadar menjual produk, tetapi membangun brand yang kuat dan bermakna. Karena dengan begitu, mereka akan benar-benar “naik kelas” dan membawa kebanggaan bagi produk lokal Indonesia.